Selama dua dekade terakhir peran legislator dalam pembuatan kebijakan publik dan penganggaran semakin meningkat (Shick, 2001). Dengan menggunakan studi kasus pada empat agensi, Johnson ( 1994) menemukan bahwa birokrasi merespons tekanan yang diberikan oleh legislator dalam proses pembuatan kebijakan dan anggaran. Hyde dan Sharfriz ( 1978:324 ) menyatakan bahwa penganggaran adalah sebuah proses legislatif. Adapun yang dibuat eksekutif dalam proses penganggaran, pada akhirnya tergantung pada legislatif karena legislatif mempunyai kekuasaaan untuk mengesahkan atau menolak usulan anggaran yang diajukan eksekutif.
Dobell dan Ulrich ( 2002 )
menyatakan bahwa peran penting legislatif adalah mewakili kepentingan masyarakat,
pemberdayaan pemerintah, dan mengawasi kinerja pemerintah. Ketiga peran ini
menempatkan legislator berkemampuan memberikan pengaruh signifikan terhadap
kebijakan pemerintah. Sementara menurut havens ( 1996 ), tidak ada keharusan
bagi legisltif untuk mempunyai prefensi yang sama dengan pemerintah atas
kebijakan, termasuk anggaran.
Pada sisi lain analisis Samuels (
2000 ) menyebutkan ada dua kemungkinan perubahan yang dapat dilakukan oleh
legislaif terhadap usulan anggaran yang dianjurkan oleh eksekutif, yaitu: pertama, mengubah jumlah anggaran dank e dua, mengubah distribusi
belanja/pengeluaran dalam anggaran .
Mengikuti urutan Legislative power yang umum berlaku,
beberapa kemungkinan yang bias
terjadi adalah:
( 1 ) the legislature cannont increase spending or
the deficit, but can descrease spending or raise revenuer; ( 2 ) the
legislature requires presidential approval before final passage to increase
spending ; ( 3 ) the legislature cannot increase the deficit, but can increase
spending if increases revenue; and ( 4 ) the legislature can increase or
decrease spending or revenue without restriction. ( Samuels, 2000 ).
Di Indonesia, penyusunan usulan anggarann atau rancangan
APBD oleh eksekutif didasarkan pada arah dan kebijakan umum dan strategi dan
prioritas yang diturunkan dari rencana strategi daerah ( Renstra ) yang
dinyatakan dalam sebuah non kesepakatan antara eksekutif dan legislative.
Kenyataan menunjukkan bahwa dalam
penganggaran dibeberapa daerah di Indonesia terjadi konflik antara legislative
dengan pemerintah daerah. Hal ini sesuai dengan temuan penelitian bahwa juga
terjadi di Kota Makassar, terutama pada tahapan pembahasan anggaran dan besaran
anggaran yang diajukan. Tmuan relevan
dengan analisis Yudoyono ( 2003 ) dalam hal (1) penyusunan APBD, terutama pada
pos anggarn belanja untuk DPRD, (2) kedudukan keuangan DPRD terdapat PAD, (3)
kedudukan protokoler anggota DPRD beserta fasilitas-fasilitasnya, dan (4)
pembahasan laporan pertanggungjawaban tahunan kepala daerah. Demikian pula
Abdullah (2004) menemukan bahwa DPRD mempunyai preferensi berbeda dengan
eksekutif atas jumlah anggaran untuk pendidikan, kesehatan dan pekerjaan umum.
Anggaran belanja bidang pekerjaan umum diusulkan lebih tinggi, sementara
belanja pendidikan dan kesehatan lebih rendah.
Jika ditelusuri lebih lanjut
sesungguhnya fenomena interaksi antara actor dalam penyusunan kebijakan public
umumnya menuai berbagai persoalaninteraksi, terutama secara spesifik terkait
dengan persoalan kewenangan dan besaran anggaran yang diperoleh masing-masing.