Perilaku Aktor Dalam Proses Perumusan Kebijakan Publik

Perspektif Perilaku Aktor salah satu hasil kajian yang diragukan adalha bawahan pembahasan RAPBD sudah berjalan sesuai dengan mekanisme yang diterapkan, mulai dari pembahasan UA, pembahasan PPAS, paripurna tentang penjelasan Walikota terhadap RAPBD dan Nota keuangan, paripurna tentang pandangan fraksi terhadap Nota Keuangan, pembahasan RKA-SKPD di ringkat panitia Anggaran, pembahasan tingkat komisi, penyerasian anggaran ditingkat panitia ditingkat panitia anggaran, paripurna untuk penetapan perda anggaran.

Alasan utama dimana Aktor kebijakan, terutama dari sisi pemerintah daerah mengusulkan anggaran pendapatan yang akan dilaksanakan untuk tahun 2009 adalah bahwa usulan anggaran pendapatan dan belanja yang diusulkan selalu meminta pendapat dan tanmggapan mulai dari bawah hingga didiskusikan pada tahap pematangan program dan proyek lewat RAPBD. Bila diperhatikan apa yang terjadi pada saat pengamatan dilakukan seperti diutarakan diatas adalah dapat dijelaskan bahwa proses perumusan kebijakan RAPBD ternyata dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan sebelumnya.

Dari sisi lain perdebatan antara Aktor tidak dapat dijindarkan tatkala para Aktor kebijakan masih mempersoalkan besaran anggaran yang diusulkan oleh terutama pihak eksekutif. Kenyataan ini didukung oleh berbagai hasil pengamatan penulis yang menunjukkan bahwa sesungguhnya perdapatan antarkelompok aktor tidak bias dihindari terutama pada pembahasan ditingkat panitia anggaran yang melibatkan SKPD untuk menyampaikan RKA-nya, walaupun yang mendominasi jalannya siding adalah anggota Dewan. Dalam hal ini berarti bahwa dominasi aktor lain terhadap aktor tertentu masih tetap ada dalam proses RAPBD Kota Makassar.

Pada prinsip dasar disimak terjadinya perbedaan seperti dijelaskan di atas tidaklah terlepas dari akibat sistem dan mekanisme pembahasan anggaran pembangunan lebih dominan diperankan oleh lembaga legislative. Hal ini terjadi misalnya terhadap kemauan aktor (DPRD) terhadap nama dan besaran anggran yang diusulkan pihak SKPD. Sebagi salah satu upaya anggota dewan dalm meningkatkan jumlah dan mengubah nama anggaran yabg diutarakan adalah menuai berbagai konflik kepentingan dalam makna tersebut.

Dalam berbagai bentuknya, maka perbedaan itu muncul tatkala kedua pihak justru kurang merespon tentang apa yang ditulis dan diusul oleh pihak eksekutif. Salah satu factor pendorongnya adalah kemungkinan besar sistem ini telah menubah posisi kelembagaan DPRD Kota Makassar untuk semakin memperkuat diri dalam menangkal dan menubah isi serta subtansi serta mata anggaran dan alokasinay tatkala berhadapan dengan lembaga pengesahan anggran. Analisis ini lebih dikenal dengan adanya dominasi dominan terutama dari sisi kelompok aktor DPRD. Hasil pemantauan tatkala proses perumusan RAPBD Kota Makassar menunjukkan bahwa umumnya terjadi perdebatan aktor yang ujung-ujungnya lebuh didominasi oleh kelompok aktor DPRD yang tegas mempertahankan pendapatnya sedangkan disisi lain pihak eksekutif cukup memberikan tanggapan apa adanya terutama ketika tentang nama program dan besaran abggaran yang diusulkan.

Meskipun ekskalasi konflik kepentingan semakin besar, tetapi ditemukan bahwa perdebatan dapat merendah dikarenakan pihak eksekutif menerima usulan-usulan anggota DPRD, apalagi kalau siding pembahasannya dilanjutkan pada tingkat komisi. Adapun dalam dimensi tertentu telah terjadi penolakan beberapa item program terjadi karena berkaitan nama dan jumlah besaran biaya yang diusulkan. Nama program sering ganda dan jumlah dananya kadang tidak rasional.

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa selama proses perumusan rancangan RAPBD, maka ditemukan bahwa dari sisi penundaan pembahasan RAPBD tidak terjadi, karena semua tahapan telah terjdawal. Kalau ada krusial selalu diarahkan untuk dilanjutkan pada pembahasan tingkat komisi. Yang perlu menjadi perhatian adalah batasan waktu yang diberikan kepala SKPD, sehingga penilaian terhadap pemaparannya RKA-nya tidak cukup, hanya 2 jam per SKPD, sehingga penilaian terhadap pemaparannya tidak optimal. Ini berarti bahwa setiap persoalan yang dihadapi meskipun dalam konflik yang tinggi diantara para aktor adalah dapat diselesaikan secara lebih ke dalam tanpa adanya pertentangan berarti.

Pada sisi pembahasan ditingkat komisi, para SKPD kembali memaparkan dan menjelaskan RKA-nya pada komisi yang telah ditentukan. Pembahasannya lebih teknis, sehingga tidak terhindari adanya tawar menawar program baik yang dilakukan oleh komisi yang bersangkutan maupun individu anggota dewan. Pada akhirnya melahirkan kompromi antara kedua kelompok aktor dan secara bersama-sama menyepakati dan menerima usulan-usulan program baik dari nama maupun jumlahnya. Penyerasian terhadap angka besaran (jumlah) bauk pendapatan maupun belanja terhadap program yang akan dibiayai pada tahun berjalan. Setelah semua pihak menerimanya, maka selanjutnya dokumen RAPBD telah rampung pembahasannya dan dipersiapkan untuk rapat paripurna tentang pengesahan APBD.

Kenyataan menunjukkan bahwa hasil pengamatan penulis menunjukkan pada saat rapat paripurna,setelah semua fraksi member tanggapan akhir terhadap RAPBD dan secara terbuka menerimana, maka dewan secara kelembagaan memutuskan untuk menerima RAPBD menjadi APBD. Rapat Paripurna selanjutnya adalah pengesahan Peraturan Daerah (PERDA) APBD.

Dalam pembahasan RAPBD, konflik kepentingan individu sesame anggota APRD juga tidak bias dihindari, karena secara individu anggota DPRD juga gigih memperjuangkan program menerka karena mereka berasal dari daerah pemilihan tertentu, yang selalu mengarahkan program kewilayah konsistennya.

Pada sisi lain, temuan hasil penelitian memperlihatkan bahwa konflik kepentingan antarfraksi juga terlihat, di mana masing-masing fraksi berupaya untuk meloloskan program strategis. Sehingga terjadi saling kompromi dan saling menukar (sharing) terhadap program yang menjadi pertentangan. Kedua kelpompok aktor terjadi pressing atu tekanan diantara mereka, walaupun dominasi selalu ada dipihak anggota DPRD.

Kenyataan menunjukkan bahwa dari sisi pelaksanaan rapat pembahasan selalu molor dari jadwal yang ditetapkan yang selalu disebabkan oleh adanya perilaku aktor terutama dari pihak lefislatif yang terlambat dan cenderung mengulur waktu. Bahkan molornya sampai 1 jam, ini dikarenakan anggota dewan selalu terlambat hadir pada ruang persidangan di sisi lain Tim Panitia Anggaran Daerah senatiasa hadir tepat waktu beserta kepala SKPD-nya. Suasana ruangan siding pembahasan selalu terkesan melompong, dimarenakan kursi para anggota dewan tidak terisi sementara pihak pemerintah daerah sudah siap bahkan sudah berjam-jam menunggu untuk segera dilaksanakannya pembahasan anggaran tersebut.

Sementara itu diperparah oleh perilaku anggota dewan yang terkai dengan anggota panitia anggran DPRD bahwa umumnya mereka kurang disiplin dimana anggota dewan sangat rendah disiplin mereka untuk mengikuti pembahasan RAPBD, sehingga terjadi persidangan dimulai hanya diikuti 10 aanggota dewan dari jumlah yang seharusnya 28 anggota dewan yang menjadi panitia anggaran. Namun setelah pembahasan berlangsung secara berangsur-angsur anggota dewan baru hadir, bahkan ada anggota dewan menjelang berakhirnya pembahasan baru muncul.

Bahkan dalam beberapa kasus ditemukan bahwa panitia anggaran DPRD tidak pernah secara utuh menghadiri acara dioalog dan konsultasi pihak eksekutif yang berjumlah 28 orang menghadiri pembahasan. Kalau dirata-ratakan hanya mencapai 60% anggota dewan yang hadir dari setiap pembahasan RAPBD dari dari pemaparan para kepala SKPD pemerintah Kota Makassar. Juga sering ditemukan siding pembahasan dimulai tidak berdasarkan qorum sesuai peraturan tata tertib, karena panitia anggaran DPRD yang hadir belum setengah dari jumlah keseluruhan anggota panitia anggaran DPRD, namun berdasarkan absensi sudah cukup. Kondisi ini terjadi karena sebagian anggota panggar setelah mengisi absensi selanjutnya meninggalkan ruangan siding.

Demikian pula dengan perilaku dalam hal berpakaian, anggota dewan juga tidak menaati tata tertib DPRD, yang mewajibkan anggota DPRD berpakaian dinas harian dan lengkap dalam setiap menikuti siding. Ditemukan beberapa anggota dewan hany berpakaian baju kemeja biasa dengan celan jeans serta memakai sepatu sport dalam mengikuti siding pembahasan RAPBD. Dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Makassar Nomor:08/DPRD/X/2006 tentang peraturan Tata Tertib DPRD Kota Makassar khususnya pasal 202 tentang pakaian anggota telah diatur pada ayat (1) bahwa dalam melaksanakan tugas Anggota Dewan berpakaian rapi, sopan dan pantas. Yang dimaksud dengan berpakaian pada ayat tersebut adalah berpakaian sipil harian (PSR), dan pakaian sipil lengkap (PSL).

Dengan cra seperti diatas dapat dinyatakan bahwa pada saat itu situasi siding pembahasan RAPBD terkesan sandiwara, ini ditandai dengan cara anggota dewan dalam memberikan pertanyaan dan tanggapan cenderung memojokkan kepala SKPD, tetapi diluar siding saling berangkulan dan bercengkrama. Bahkan sebagai anggota dewan tidak memahami perannya sebagai orang yang memiliki budget, karena ketidaktahuan tentang materi anggaran sehingga cenderung menjadi bahan tertawaan.

Ini terjadi bagi anggota dewan yang baru saja dilantik melalui PAW. Dari keseluruhan panitia anggaran DPRD, sebagian besar diantaranya hanya duduk dan mendengan dan tak pernah berbicara apalagi memberikan masukan atau tanggapan, selam siding pembahasan berlangsung. Secara umum dapat diungkapkan bahwa tingkat kemampuan yang dimiliki anggota dewan jauh lebih rendah dibandingkan kemampuan yang dimiliki para eksekutif.

Tahun anggaran 2009 merupakan tahun terakhir periode keanggotaan dewan, sehingga pertanyaan-pertanyaan anggota dewan dalam menanggapi program SKPD selalu mengarah dan memperjuangkan program-program unggulan yang diarahkan ke aerah atau wilayah pemilihannya untuk dugunakan sebagai alat kampanye. Meskipun demikian kondisi di luar siding informal, para panitia anggaran DPRD bersama kepala SKPD Nampak saling bercengkrama,berdialog dan berdiskusi.

Fakta di atas menunjukkan bahwa proses penyusunan kebijakan public pada kasus APBD Kota Makassar pada prinsipnya ditemukan terhadapnya berbagai kendala dan ketidakharmonisan pola hubungan antaraktor. Seperti telah dijelaskan bahwa proses perumusan kebijakan sesungguhnya meliputi tiga fase penting yang dapat dipahami sebagai fase yang penuh dengan perspektif konflik kepentingan di antara aktor terlibat, meliputi fase perumusan masalah, fase penyusunan agenda dan fase pengajuan kebujakan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mempertajam analisis sekaligus membatasi lingkup pembahasan proses trasformasional masalah kebijakan yang ada pada tiga titik perumusan masalah tersebut.

Pada umumnya masalah yang mendesak perhatian seseorang dalam bekomunikasi tertentu secara langsung merupakan masalah yang berkaitan dengan kepentingan umum (public interest). Biasanya masalah tersebut disurahkan dan dicetiskan melalui kelompok kepentingan dan juga dari interaksi dalam mekanisme irion-triangle dalam sistem birokrasi yang ada dilingkungan sistem kebijakan tertentu yang dapat berasal dari perorangan maupun kelompok tertentu. (ripley, 1985),

Masalah yang mendapat perhatian dari seseorang atau kelompok tertentu kemudian dibicarakan dengan orang-orang lain yang mempunyai kaitan kepentingan yang sama. Proses tersebut cenderung telah menjadi masalah bersama atau seringkali dikenal sebagai public problem hingga menjadi public issue yaitu masalah bersama yang telah menuntut untuk penyelesaiannya melalui intervensi kebijakan. Proses awal dari kebijakan public sesungguhnya ada tatkala terjadi silang pendapat di antara berbagai aktor kebijakan tentang luas dan dampak permasalahan yang timbul jika tidak dilakukan intervensi kebijakan public. Dan langkah awal inilah yang akan menjadi bahan utama yang siap direspon oleh aktor kebuijakan dalam fase agenda kenijakan public.

Dijelaskan oleh Dunn (2003:25) bahwa proses pembuatan kebijakan public selalu diawali oleh serangkaian kegiatan yang saling bertautan dan hubungan antara satu dengan yang lain. Proses tersebut terdiri dari kegiatan penyusunan agenda kebijakan, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi dan evaluasi atay penelitian sebuah kebijakan public.

Penentuan masalah (problem defision) dan penyusunan agenda kebijakan (agenda setting) adalah dua istilah dan proses dalam kebijakan public yang mempunyai kaitan yang amat dekat (closely related). Problem definition adalh berkaitan dengan cara orang berpikir tentang sesuatu (way people think about) dan menilai berbagai isu yang terkait. Dalam hal ini problem defitions melibatkan berbagai bentuk persepsi dan interprestasi manusia sebagai aktor kebijakan. (Portz, 1996). Agenda setting adalah suatu proses yang meliputi suatu rangkaian tindakan atau strategi (actions and strategies) di mana isu tertentu menjadi pusat perhatian bagi masyarakat (public attention). Agenda setting menggambarkan suatu proses politik yang mengarah pada perpindahan isu tertentu kepada tingkat kebijakan yang telah tinggi. (weiss, 1989).

Dengan demikian problema definition memainkan peranan penting, yang oleh weiss disebut sebagai” play a critical role”, dalam menempatkan masalah tertentu terhadap agenda kebijakan publik.

Pada dasarnya agenda setting dalam perspektif kebijakan publik adalah berkenaan dengan pengindikasian suatu permasalahan public pada sisi pemerintah yang harus dilakukan dan dirumuskan tindakan pencegahan dan pemecahannya. Cob, Ross dan Ross (1976) menjelaskan makna agenda setting sebagai suatu proses dengan mana tuntunan dari berbagai kelompok dalam masyarakat tertentu ditranslasi (translated) ke dalam berbagai item dan bagian-bagia yang saling bersainng dan bersinggungan satu sama lain untuk diperhatikan dan ditindaki secara serius oleh pemerintah. Pendapat ini sejalan dengan pandangan Gupta (2001) bahwa dalam konteks agenda kabijakan yang selanjutnya dibedakan antara agenda sistemik dan agenda institusional kebijakan. Gupta selanjutnya mengelaborasi model agenda setting ke dalam dua kelompok besar yaitu model pluralis dan model elit. Kedua pendekatan sangat berbeda baik ditinjau dari sisi kakuasaan yang melingkupinya (power), pengaruh maupun dampak yang ditimbulkannya. Pendekatan pluralis berkaitan dengan agenda kebijakan pada awalnya dijelaskan oleh Roger Cobb (dalam Gupta, 2001) di tahun 1970-an yang menjelaskan bagaimana mengaktifkan proses pluralis dalam proses agenda tersebut.

Pendekatan pluralis dalam proses penyusunan agenda adalah sesuatu yang ingin memasukkan preferensi publik atau seluruh stakeholder kebijakan yang relevan dalam prose penentuan maslah kebijakan publik. Sedangkan pendekatan Portz (1996) di dalam melihat aktivitas proses kebijakan sehingga mendapat respon pemerintah dalam tahapan agenda setting disebutkan sebagai tiga komponen yaitu komponen media massa yang dapat mengungkap masalah yang sebelumnya masih samar-samar, kelompok kepentingan ysng terkait serta sponsor politik serta solusi yang diperlukan. Komponen seperti ini dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya hanya ada tiga pilar yang mengusung masalah kebijakan ke tahapan agenda kebijakan, yaitu pihak media massa, tanggapan politik maupun resolusi maslah dari pihak birokrat.

Dalam konteks formulasi kebijakan di mana para kelompok kepentingan berusaha untuk memenuhi tuntunan mereka melalui “lobbi”, maka Greenwald (1977) menjelaskan adanya beberapa teknik lobbi, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

Pengaruh langsung dapat terdiri dari:
1. Mempresentasikan pendapat atau fakta secara langsung kepada para perumus kebijakan,
2. Berpartisipasi dalam bill drafting,
3. Pengujian pendengaran

Para pelobbi sering sekali menganggap teknis tersebut di atas sebagai suatu teknik yang cukup efektif untuk mencapai sasaran partisipasi dalam proses kebijakan, demikian seperti sebuah akses adalah teknik ini seringkali jarang dapat didapatkan. Pada model keterkaitan langsung, para palobbi mencoba untuk menbantu para perumus kebijakan, mengembangkan informasi agar dapat lebih aktif, memperkuat, dan mengingatkan kembali kepada para staf terkait yentang komitmen mereka terhadap isu kebijakan itu. Meskipun demikian, proses tersebut pada umumnya terjadi dalam jalur komite dan organisasi, yang kebanyakan pelobi tersebut menekankan relasinya baik terhadap anggota komite dan organisasi yang bersangkutan maupun terhadap staf mereka.

Sedangkan secara tidak langsung pengaruh tersebut dapat berupa:

  1. Tindakan konsituen, yang berarti warga melakukan hubungan dan komunikasi tertentu dalam rangka untuk melakukan proses pemilihan dan pengangkatan pejabat tersebut.
  2. Anggota kelompok kepentingan untuk memperbesar dampaknya tehadap kelompok “grass-root” melakukan lobi dengan sejumlah besar anggota yang terlibat di dalamnya. Sementara prose situ berjalan, secara simultan mereka menciptakan organisasi penengah yang dapat mwmbuat ruang tertentu bagi mereka dengan menyusun sejumlah besar isu dari kelompoknya terhadap kelompok lain yang berbeda.
  3. Teknik-teknik pengawasan situasi tertentu yaitu dengan mendramatisir berbagai isu yang ada, untuk menunjukkan interprestasi kondisi sesungguhnya.
  4. Mengkampanyekan berbagai isu publik melalui periklanan
  5. Protes. Bentuk ini adalah suatu bentuk ekspresi kolektif, dibangun untuk mengembangkan baik melalui akses terhadap para perumus kebijakan maupun melalui proses tawar menawar dalam konteks negosiasi kebijakan.
Keseluruhan teknik secara tidak langsung ini adalah mencari jalan untuk melakukan perubahan kebijakan dengan memanfaatkan anggota kelompok yang ada, kelompok warga dengan sejumlah kepentingannya, serta dengan melalui media massa yang dapat menyampaikan apa kehendak mereka.

Gupta (2001) menjelaskan bahwa proses kebijkan atau silkus kebijkan atau informasi kabijkan adalah awal ketika pemerintah menganggap sebagai sesuatu yang serius dan perlu penanganan terhadap isu tertentu. Isu seperti inilah yang kemudian manjadi sesuatu yang dimasukkan kedalam agenda setting. Dalam kaitannya dengan permasalahan agenda setting, maka terdapat dua macam daripada agenda itu, yaitu agenda pemerintah atau agenda kelembagaan atau agenda nonkelembagaan atau sistematik. Agenda kelembagaan (institutional agenda) adalah pada segi pemerintah melakukan tindakan, sementara itu agenda nonkelembagaan atau sistemik (systemic or non-institutional agenda) adalah ada ketika pemerintah menolak tindakan tersebut.

Dalam wacana tentang agenda setting, maka pertanyaan yang seringkali dimunculkan adalah di sekitar persoalan jika seseorang yang mempunyai permasalahan dan tak dapat “masuk” dalam wilayah agenda setting, bagaimana suatu item permasalahan tersebut “menarik perhatian” bagi para aktor dalam setting itu ? Agenda setting pada dasarnya memunculkan berbagai masalah politik mendasar seperti permasalahan tentang “pada kondisi bagaimana definisikan sebagai suatu masalah public (public problems)”? bagaimana permasalahan tersebut ditanggapi oleh pemerintah ? melalui jalur apa permasalahan itu hingga sampai pada agenda pemerintah ? apakah kemudian terdapat agen tertentu yang mengusulkannya ? permasalahan siapa yang diperhatikan dan siapa yang tidak dalam konteks agenda setting ? apakah terdapat bias yang berlangsung secara sistematik dalam proses tersebut ?

Suatu permasalahan definisi sebagai suatu situasi di mana persepsi dari suatu kondisi tertentu tidak memenuhi harapan berbagai pihak atau kelompok yang ada. (wayne, 2003). Batasan tentang permasalahan seharusnya dianggap sebagai hipotesis dan harus menjadi subjek dan pokok aktivitas untuk diteliti dan dicermati. Adalah hal yang mengecewakan bahwa banyak distorsi yang terjadi dan masuk dalam proses kebijakan melalui proses persepsi dan definisi terhadap suatu masalah tertentu.

Bagi Wright mills Wayne (2003) berpendap[at bahwa kemampuan untuk mentransformasi suatu keadaan kekecewaan dan ketidakpuasan seseorang kedalam suatu wilayah permasalahan public amat perlu apa yang dinyatakan sebagai “imaginasi sosiologi” (the sociological imagination). Definisi dan indentifikasi permasalahan tentang bagaimana kita menilai sesuatu kondisi dan nilai masyarakat tertentu. The are ideologically charged perceptions and will often be contested vigorously. Identifikasi permasalahan pada setting yang berasal dari luar lingkungan kebijakan tersebut adalah amat penting sebagai langkah maju dari suatu yang bersifat individu (privat) menjadi suatu masalah public.

Pada umumnya masalah kebijakan public yang masuk di dalam tahapan agenda kebijakan baik dalam bentuk agenda sistematik maupun agenda formal sangat ditentukan oleh seberapa kuat daya penekan yang dilakukan oleh kelompok kepentingan tertentu yang berkaitan secara langsung dengan kebijakan itu sendiri. (Cobb dan Elder, lihat Parson, 2005). Kelompok kepentingan inilah yang kemudian melakukan tekanan tertentu sehingga masalah yang sebelumnya tidak direspon oleh otoritas kebijakan atau aktor pada umumnya dalam tidak direspon oleh otoritas kebijakan atau aktot pada umumnya dalam fase agenda kebijakan kemudian direspon dan ditanggapi sebelumnya kemudian menjadi pilihan kebijakan public. Satu dianta kelompok kepentingan tersebut adalah media massa (mass media) yang menurut Cibb dan Elder sebagai pihak yang selalu menyuarakan (blowing-up) suatu masalah yang demikian samar menjadi nyata dan direspon oleh aktor dalam tahap agenda kebijakan.

Berdasarkan kerangka tersebut selanjutnya Cobb dan Elder menjelaskan bahwa pada tahapan agenda yang bersifat sistematik (systemic agenda) terdapat beberapa karakteristik yang nmelingkupinya yaitu: 
(1). Seluruh isu yang ada secara bersama-sama diyakini oleh seluruh anggota komunitas politik sebagai perhatian public yang muncul dari otoritas kebijakan.
(2). Untuk memperoleh akses pada agenda sistemik, maka suatu isu kebijakan harus memenuhi syarat: menjadi perhatian dan pedulian masyarakat luas yang dipersepsikan sama sebagai masalah kebijakan yang perlu mendapat tanggapan dari otoritas kebijakan. Sedangkan pada tahapan ke dua atau dalam tahap agenda institutional (institusional agenda) maka karakteristik yang melingkupinya adalah
 (1). Secara eksplisit masalah tersebut dipertimbangkan dengan serius dan aktif oleh perumus kebijakan,
(2). Mungkin masalah tersebut adalah masalah yang sudah lama dan secara regular ditetapkan atau mungkin juga berupa masalah-masalah.
(3). Seringkali tahapan ini dikenal dengan nama agenda pemerintah atau agenda formal. Secara keseluruhan karakteristik agenda setting tersebut setigk-tidaknya dapat memberikan gambaran spesifik berkaitan dengan wilayah mana yang perlu penekanan sehingga masalah kebijakan yang sedemikian peliknya dihadapi oleh masyarakat dapat memperoleh respon pemerintah dalam bentuk kebijakan public.

Model Cobb and Elder di atas dapat digunakan sebagai alat analisis untuk menjelakan fenomena interaksi aktor perumus kebijakan perencanaan APBD di wilayah di mana konflik kepentingan yang terjadi tatkala dirumuskannya sangat tinggi. Karakteristik model yang dikembangkan Cobb dan Elder di atas adalah relevan untuk dipakai melihat lebih jelas pola dan karakteristik interaksi DPRD dan kepala Daerah dalam merumuskan kebijakan APBD yang cukup komfliktif tersebut.

Pada hakikatnya media massa menjadi factor penentu di mana mendorong diresponnya masalah kebijakan yang diperbincangkan dalam fase perbincangan masalah kebijakan yang dihadapi oleh komunitas tertentu. Ripley (1985) mencatat bahwa media massa seperti ini seringkali memberikan tekanan secara lebih berarti kepada pemerintah agar segera lewat kebijakan (policy).

Secara lebih luas, khususnya pada kasus kebijakan di Negara-Negara aberkembang seperti dijelaskan oleh Grindle dan Thomas (1991) bahwa factor yang mempengaharui birokrasi di dalam melakukan pilihan kebijakan di antaranya adalah elit atau tokoh agama (religious elit) yang ada sisekitar wilayah bersangkutan. Hasil studi Levine (1981, lihat Grindle dan Thomas, 1991) mengungkap bahwa pemimpin gereja di Amerika Latin dan pemimpin Islam di Timur tengah selalu diminta pertimbangannya berkaitan dengan pilihan kebijakan yang akan dilakukan di kedua Negara tersebut. Demikian pula tekanan media massa, organisasi militer dan organisasi perburuhan dan perusahaan turut memberukan konstribusi yang cukup berarti dalam proses penentuan pilihan masalah kebijakan yang diputuskan.

Berbagai bentuk kelompok kepentingan tersebut kemudian dalam praktiknya seringkali dibentuk dan diadakan dengan maksud dan kepentingan untuk meningkatkan kualitas apa yang diwakilkan kepadanya, sehingga dapat memberikan kontribusi pada kelompok yang diwakilkannya secara lebih optimal. Kepentingan yang diwakili dalam dimensi organisasi dan kolektivitas dan ekstra organisasi dapat memberikan nuansa kepentingan yang lebih adaptif ketimbangan kepentingan yang hanya memperhatikan kepentingan diri dan kelompoknya saja. Hal ini dapat dipahami bahwa meskipun berbagai desakan kepentingan diberikan pada proses perumusan masalah kebijakan, maka secara pragmatis keseluruhannya ditentukannya ditentukan oleh sejauhmana kelompok kepentingan memberikan tekanan pada otoritas kebijakan dalam perpektif arena kebijakan untuk menyuarakan aspirasi dan kepentingannya. Denagn cara seperti ini diharapkan menjadi referensi di dalam menyembatani ragam kepentingan yang terkait dengan kebijakan tertentu.

Pada hakikatnya konsep governance menggambarkan adanya perubahan makna pemerintahan yaitu merujuk kepada: 1) suatu proses baru dalam memberikan (a new process of governing), 2) perubahan kondisi dalam tata atyran (a changed conditional of ordered rule), dan 3) metode baru tentang peran serta masyarakat dalam pemerintah (the new method nby which society is governed) (Rhodes, 1996:652-653).

Teori Governance dengan salah satu pendekatannya yang disebut socio cybernastics approach (Rhodes, 1996). Inti dari pendekatan ini bahwa sejalan dengan pesatnya perkembangan masyarakat dan kian kompleksinya harus segera diputuskan, beragamnya institusi pemerintah serta kekuatan isipasi dalam proses pembuatan kebijakan (policy ciety) yang berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan (policy making), maka hasil akhir (out come) yang memuaskan dari kebijakan public tidak mungkin dicapai jika hanya mengandalkan sektor pemerintah, kebijakan public yang efektif dari sudut pandang teori governance adalah produk sinergi interaksional dari beragam aktor atau intitusi.

Pendekatan governance lebih mementingkan pada tingkatan bersama (collective action). Kebijakan pemerintah untuk memonopoli proses kebijakan dan memaksakan berlakunya kebijakan tersebut akan ditinggalkan dan diarahkan kea rah proses kebijakan yang lebih inklusif, demokratis dan partisipatif. Masing-masing aktor akan berinteraksi dan saling member pengaruh (mutually inclusive) demi tercapainya kepentingan bersama.

Selain daripada itu, pemerintah secara sistematis harus mendorong kompetisi antara organisasi-organisasi non-pemerintah dengan para individu atau pihak-pihak dalam berpartisipasi dan melakukan pengembangan analisis kebijakan sebagai bagian dari proses di mana kebijakan pemerintah tersebut ditentukan. Hal tersebut dikenal dengan pendekatan pemerintah yang terbuka dan privasi masalah kebijakan h Daerah (Willims, 1998:53).

Persoalan lebih mengerucut tatkala permasalahan perilaku aktor yang terlibat dalam proses penetapan APBD KLota Makassar berdasarkan atau melalui skema desentralisasi di mana pemerintah daerah diwajibkan menyiapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang mengacu pada RPJMN. Pemerintah kabupaten/kota juga wajib membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan Daerah (KPKD) dan menyusun Strategi penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) sebagai dasar pengarusutamaan(maintstreaming) penanggulangan kemiskinan daerah, sekaligus mendorong gerakan sosial dalam mengatasi kemiskinan. Komitmen nasional ini mengharuskan pengurangan kemiskinan di atas daerah menyatu dengan sistem perencanaan dan penganggaran daerah (APBD).

Berdasarkan analisis di atas, maka penelitian ini merumuskan beberapa hasil temuan terkait dengan perilaku aktor dalam proses interaksi dalam perumusan kebijakan APBD Kota Makassar yang divisualisasikan melalui Matriks pada table 4.1.

Pendekatan dan momentum itulah yang turut membiakkan dan menyebarluaskan gagasan reformasi gagasan reformasi kebijakan daerah menuju pro poor budget di semua daerah di Indonesia. Kalangan organisasi masyarakat sipil (CSOS) tentu paling gencar mempromosikan dan melakukan advokasi anggaran pro poor. Pada saat yang sama para pejabat terus-menerus berbicara kemiskinan, meskipun dengan masih ragu mulai memperkenalkan konsep anggaran pro rakyat dalam naskah pidato maupun dokumen kebijakan. Studi Sutoro Eko (2007), misalnya, menyebut kampiun-kampiun yang inovatif itu sebagai “daerah budiman”, yakni daerah yang memiliki keterbatasan anggaran (APBD) tetapi mengeluarkan belanja social yang relative tinggi untuk mempromosikan kesejahteraan rakyat. Pernyataan ini sesuai dengan temuan perilaku aktor dominative dalam proses perimusan kebijakan cenderung membuat lebuh gaduh persoalan interaksi itu sendiri.

Matriks Temuan Perilaku Aktor Dalam Proses Interaksi Pemerintah Daerah dan DPRD Kota Makassar
Perpestif
Perilaku Aktor
Perumusan KUA dan PPA
Pembahasan RAPBD
Kepentingan aktpr dalam kebijakan APBD
Masing-masing  aktor kebijakan memulai kepentingan yang berbeda terhadap proses perumusan   kebijakan APBD.  Pihak eksekutif memiliki kepentingan yang terkait dengan capaian visi dan misi kepala daerah dan pemerintah daerah. Sementara  DPRD memiliki kepentingan untuk meningkatkan untuk memiliki kepentingan untuk   meningkatkan atau konstituennya dalam penysunan KUA dan PPA.
Aktor pemerintah daerah cenderung memperjuangkan program yang diusulkan melalui masing-masing SKPD sebagai kepentingan dasarnya. Sementara DPRD memperjuangkan alur dan besaran eksekutif. Ketika anggaran yang diusulkan eksekutif. Ketika terjadi perdebatan dalam siding komisi, maka perilaku aktor pemerintah daerah lebih lugas dibandingkan dengan aktor DPRD.
Sikap aktor Dalam Proses Perumusan Kebijakan APBD
Oleh karena proses penyusunan KUA dan PPA menjadi domain dominan diperankan oleh pihak eksekutif, maka sikap aktor eksekutif lebih tertutup dan cenderung merumuskannya berdasarkan perspektif pemerintah daerah.
DPRD dalam berbagai ranah dan tahapan pembahasan kebijakan APBD cenderung menguasai kondisi dan memainkan peran sentral. Hal ini terutama dikaitkan dengan fungsi dan kewenangannya dalam anggaran daerah. Akibat pihak DPRD seringkali memunculkan sikap yang kurang sepantasnya dan kurang menjaga keharmonisan hubungan dengan pihak eksekutif.

          
Sejumlah ilmuan social mulai dari Harry J. Benda (1964), Yahya Muhamin (1990) hingga Tony Adam (2002) umumnya menyampaikan argumenn bahwa bentuk politik Indonesia modern mempunyai akar sejarah di masa lalu, yakni Karakter patrimonial.

Jaringan-jaringan patron Klien dan kekeluargaan (kekerabatan) yang berbasis etnisitas tradisional menjadi cirri khas sistem politik prakolonial terus menerus berlanjut sejak masa colonial hingga abad modern sekarang ini. Karakter patrimonial ini memuat Negara dikelola secara personal seperti dalam keluarga, baik dalam penempatan jabatan-jabatan public maupun distribusi sumberdaya keuangan.

Sejauh itu tatanan patrimonial telah menjadi kerangka kerja hubungan internal dalam pemerintah maupun hubungan antara pejabat pusat dan elite daerah.

Pada akhir periode colonial, pejabat pusat bersekutu dengan elit bangsawan di daerah dengan membangun pemerintahhaan tidak langsung dengan biaya relative murah namun berhasil menciptakan stabilitas politik. Karena memperoleh perlindungan pemerintah colonial, elit-elit daerah langsung cenderung menguat. Jika ke atas elite daerah menunjukkan loyalitas, maka ke bawah mereka memperoleh kekuasaan dengan basis etnisitas dan tradisi adat. Di masa colonial, hokum adat menjadi seperangkat penting pemerintah dalam mengatur hubungan-hubungan setempat dengan membiarkan rakyat terbelenggu dalam tata aturan yang berbasis etnis(Henk Schelte Nordholt, 2005). Politik identitas entik betul-betul menjadi alat untuk referentasi politik dan teritorialitas politik. Diseluruh nusantara, kelompok dan batasan etnis ditetapkan sebagai hasil dari komunitas cair dengan pembatas jelas dengan istilah-istilah ketat serta diletakkan dalam struktur wilayah (Henk Schulte Nordholt, 1994 dan Smith Kipp, 1996)

Analisis bahasan diatas juga ditelusuri secara akademik oleh burhan magenda (1994) di mana misalnya, menunjukan adanya kesinambungan kekuasaan bangsawan di daerah-daerah luar jawa setelah Indonesia meraih dan mempertahankan kemerdekaan. Dia memperlihatkan bahwa korps pegawai negeri sipil Departemen Dalam Negeri awal tahun 1950-an dikuasai oleh para birokrat jawa yang bersekutu dengan bangsawan-bangsawan luar jawa. Birokrat membutuhkan bangsawan untuk mengatur negeri dan bangsawan membutuhkan perlindungan birokrat untuk menghadapi perlawanan lokal. Pola hubungan ini semakin menguat di zaman orde baru.

Dengan memasuki Negara dan menyesuaikan diri secara halus dengan aturan baru permainan politik dan administrasi, banyak elite daerah yang berhasil menciptakan kekuatan baru bagi kepentingan mereka sendiri untuk memperluas kekuasaan , status dan kekayaan (Magenda, 1994; Michael Malley, 2011). Dengan strategi ganda, mereka sangat loyal pada pusat dengan cara memobilisasi dukungan rakyat untuk kemenangan golkar, mereka juga berupaya masuk dan mengendalikan cabang-cabang partai penguasa itu. Para elite daerah memperoleh akses jabatan penting dan jaringan patronase ekonomi yang sangat menguntungkan.

Pandangan serupa tehadap kesinambungan patrimonial di tingkat daerah memperlihatkan bahwa banyaknya masalah dalam hubungan antara desentralisasi dan demokrasi lokal berurat-berakar dalam tubuh elite daerah Indonesia. Posisi merka dimasa kolonial diperkuat oleh sistem pemerintahan tidak langsung (indirect rule) yang lebih mengutamakan pembedaan etnis dan adat tradisional. Wacana identitas etnis dan kekeluargaan warisan masa lalu yang memantapkan posisi elite dimunculkan di arahkan pada masa orde baru. Mereka memiliki akses pada lembaga-lembaga pusat dan mengandalkan konstituen lokal yang digalang dengan loyalitas etnis.

Dalam proses desentralisasi seolah telah memberikan mereka kesempatan memperluas dan mempertahankan jaringan patron-Klien daerah, bergabung dengan ketergantungan fiscal pada Jakarta, menghasilkan persaingan sengit untuk berebut posisi –posisi strategis dalam pemerintahan daerah, jabatan-jabatan tersebut memungkinkan mereka memperoleh akses eksklusif pada dana-dana pusat dan sumber-sumber daerah (Henk Schulte Nordholt, 2005)

Di era desentralisasi dan otonomi daerah, karakter patrimonial berpindah dan menguat di daerah. Delegitimasi sentralisme dan kebangkitan daerah menjadi ciri khas paling menonjol dalam konteks desentralisasi selama delapan tahun terahkir. Berbeda dengan kondisi masa lalu, kontrol pemerintah pusat atas daerah semakin melemah, sehingga pusat semakin berang terhadap munculnya raja-raja kecil di daerah. Kebangkitan daerah di tandai dengan bangkitnya politik identitas (entah agama atau etnis), menyoloknya politik kekerabatan dalam birokrasi daerah dan bangkitnya orang-orang kuat yang mempunyai keleluasaan untuk mengendalikan sumberdaya ekonomi politik lokal.

Undang-Undang No. 25/2004 menegaskan bahwa sistem perencanaa Pembangunan Nasional bertujuan untuk: mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan; menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan strategi baik antardaerah, antaruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah; menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasa; mengoptinmalkan partisipasi masyarakat; dan menjamin terciptanya penggunaan sember daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Poin ke dua itu mengandung makna bahwa perencanaan daerah tidak sepenuhnya mengacu pada sistem yang desertalistik secara absolute, tetapi daerah harus mengacu juga pada hierarki pusat dan daerah. Apalagi UU ini juga menegaskan bahwa rencana tahunan daerah (RKDP) dan RJPMD harus mengacu pada rencana tahunan nasional (RKP) dan RPJMN.

Atas akema itu, sistem perencanaan pembangunan menempuh empat proses. Pertama, proses politik. Perencanaan daerah (RPJMD) sebenarnya berangkat dari proses politik pemilihan kepala daerah secara langsung, terutama menjabarkan visi-misi kepala daerah terpilih. Di sisi lain, RKPD, KUA dan APBD juga ditempuh melalui proses politik, yakni komunikasi dan musyawarah antara jajaran eksekutif (yang dipinpin oleh kepala daerah) dengan jajaran legislative (DPRD). Ke dua, proses teknokratik, yakni perencanaan yang disusun oleh perencanaan profesional atau oleh lembaga pemerintah yang secara fungsional menjalankan tugas perencanaan. Dalam konteks UU No. 25/2005, proses teknokratik ini dilakukan oleh Bapeda dan SKPD. ke tiga, proses partisipatif, yakni perencanaan yang melibatkan masyarakat (stakeholders) antara lain melalui Musrenbang dari bawag (desa/kelurahan. Ke empat, proses dari atas (top down) dan dari bawah (bottom up) dalam heirarki pemerintahan. Proses dari atas berarti bahwa perencanaan daerah harus mengacu pada pada perencanaan nasional, bupati harus mengacu pada presiden. Sedangkan proses dari bawah adalah proses penyusunan rencana tahunan yang berangkat dari Musrenbang di atas desa/kelurahan, kemudian di bawah naik ke kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan pusat.

Dengan demikian, rezim perencanaan pembangunan menghendaki sistem perencanaan nasional dan daerah yang sinkronis dengan tujuan agar agenda-agenda nasional, misalnya pengurangan kemiskinan, menjadi agenda bersama yang masuk dalam perencanaan pembangunan secara subtantif berorientasi pada pengurangan kemiskinan, mengutamakan aspek teknokrasi yang canggih untuk menyusun perencanaan daerah, dan menggunakan pendekatan partisipatif dari bawahan dalam proses perencanaan.

Tetapi rezim penganggaran daerah bias dikatakan tidak koheren dengan sistem perencanaan, seperti terjadi pada sistem dan mekanisme pembahasan anggaran daerah di Kota Makassar. Sistem penganggaran begitu rigid, ketat, birokratis, kaku yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan akuntabilitas, atau mencegah terjadinya penyimpangan tidak peka pada konteks lokal yang beragam dan tentu tidak pro pada masyarakat kalangan bawah.

Para pejabat daerah di Indonesia, termasuk di K ota Makassar umumnya selalu kritis pada berbagai regulasi keuangan daerah yang dibuat pemerintah pusat, seraya menuding bahwa seperangkat regulasi itu menghambat daerah untuk menolong kaum miskin. Mereka bias terjerat korupsi karena dituduh melanggar peraturan, meskipun mereka benar-benar mengalokasikan anggaran dan program untuk kaum miskin.

Terputusnya koherensi antara perencanaan dan penganggaran daerah betul-betul terjadi secara empiric di daerah. Di atas kertas, perencanaan berproses secara partisipatif dan dari bawah, tetapi penganggaran berlangsung secara elitis (oligarkis) antara eksekutif dan legislative. Proses perumusan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) antara pihak eksekutif dan legislative pascaMusrenbang, meskipun tidak partisipatif, menjadi arena critical angagement untuk membicarakan arah kebijakan yang bersifat makro. Dalam KUA, pihak DPRD Kota Makassar selalu menekankan secara kritis dan objektif kepada eksekutif agar kebijakan anggaran daerah diarahkan untuk menjawab masalah-masalah mendesak, meningkatkan kualitas pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, air, penerangan) dan mengatasi kemiskinan.

Kasus bahwa internal eksekutif maupun DPRD memahami benatr bahwa kebijakan umum anggaran harus dioptimalkan untuk biaya public tetapi criterical engagement itu emakin pudar ketika pembahasan sudah memasuki tahap penentuan prioritas anggaran (PPAS) oleh panitia anggaran legislative dan tim anggaran.

Menarik dianalisis lebih lanjut bahwaumumnya para anggota dewan mengatakan pembahasan KUA bukan tempat untuk kompromi politik, tetapi sebagai atempat untuk mendiskusikan arah kebijakan yang berkaitan dengan “nasib rakyat” secara kritis, objektif dan dalam proses perencanaan anggaran. Critical engggagement dalam KUA berubah menjadi sebuah kompromi politik dalam pembahasan detail anggaran. Dewan berjuang keras untuk mendapatkan pos anggaran proyek untuk memenuhi permintaan dari konstituen mereka di daerah pemilihan.